Pembaca sekalian, -semoga Allah senantiasa menganugerahkan kepada
kita RahmatNya- sesungguhnya predikat yang sangat mulya bagi seorang
manusia adalah ketika ia berhasil menjalankan kedudukannya sebagai hamba
Allah dengan sebenar-benarnya.
Predikat sebagai ‘hamba Allah’ adalah predikat yang sangat mulya.
Bahkan, dengan kemulyaan tersebut Allah Subhaanahu Wa Ta’ala setiap kali
hendak menunjukkan ketinggian kedudukan Rasulullah Muhammad
Shollallaahu ‘alaihi wasallam dan melakukan pembelaan terhadap beliau
senantiasa menyebut beliau sebagai ‘hamba’-Nya. Contohnya pada ayat-ayat
berikut :
سُبْحَانَ الَّذِيْ أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلاً مِّنَ اْلمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى اْلمَسْجِدِ اْلأَقْصَى
“Maha Suci (Allah) Yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha…”(Q.S Al-Israa’:1)
وَإِنْ كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مِمَّا نَزَّلْنَا عَلَى عَبْدِنَا فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِنْ مِثْلِهِ…
Dan jika kalian ragu terhadap apa yang Kami turunkan kepada hamba
Kami, datangkanlah satu surat yang semisal dengannya….(Q.S al-Baqoroh
ayat 23)
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَى عَبْدِهِ الْكِتَابَ وَلَمْ يَجْعَلْ لَهُ عِوَجًا
Segala puji bagi Allah yang menurunkan Kitab kepada hambaNya dan
tidak menjadikan kebengkokan pada kitab tersebut (Q.S al-Kahfi ayat 1)
تَبَارَكَ الَّذِي نَزَّلَ الْفُرْقَانَ عَلَى عَبْدِهِ لِيَكُونَ لِلْعَالَمِينَ نَذِيرًا
Maha Suci (Allah) Yang menurunkan al-Furqon kepada hambaNya agar
menjadi pemberi peringatan bagi seluruh alam (Q.S al-Furqon ayat 1)
Dan masih banyak lagi contoh pada ayat yang lain. Itu semua
menunjukkan bahwa predikat sebagai hamba Allah adalah kemulyaan yang
luar biasa.
MANUSIA PASTI MENJADI HAMBA, JIKA TIDAK MENGHAMBA KEPADA ALLAH PASTI MENJADI HAMBA BAGI PIHAK LAIN
Bagaimanapun hidup seseorang, pastilah ia memilih menjadi seorang
hamba. Sebagaimana dijelaskan hal ini oleh seorang ulama’ besar, Ibnul
Qoyyim al-Jauziyyah dalam bait-bait syairnya.
Memang benar ucapan beliau, seorang manusia memang memiliki pilihan.
Namun, dia tidak akan bisa beranjak dari predikat sebagai hamba. Jika
dia tidak mau menjadi hamba Allah, – disadari atau tidak- pasti dia
memilih menjadi hamba dan budak bagi yang lain, paling tidak bagi hawa
nafsu dan syaitan.
Jadi, sekalipun seseorang mengaku bahwa dirinya adalah suatu pribadi
yang bebas, independen, serta tidak terikat dengan berbagai macam
aturan, sebenarnya dia telah memilih untuk tidak menjadi hamba Allah.
Dia lari dan berupaya keluar dari ikatan syariat dan ingin bebas, namun
sebenarnya dia telah memilih menjadi budak (hamba) bagi pihak lain,
yaitu hawa nafsu dan syaitan. Ia sesungguhnya telah menghamba dan
menyembah hawa nafsunya. Sebagaimana Allah Subhaanahu Wa Ta’ala
berfirman :
أَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلهَهُ هَوَاهُ
“ Bagaimana pendapatmu tentang orang-orang yang telah menjadikan hawa nafsunya sebagai sesembahan “ (Q.S AlFurqon : 43)
Seseorang bisa jadi menghamba kepada syaitan dengan mengikuti
bisikan-bisikan perintahnya dan meninggalkan aturan-aturan syariat dari
Allah. Allah Subhaanahu wa ta’ala telah memberikan bimbingan kepada kita
dan mengingatkan agar tidak ‘menyembah’ syaitan dalam firmanNya :
أَلَمْ أَعْهَدْ إِلَيْكُمْ يَا بَنِي آدَمَ أَنْ لاَ تَعْبُدُوا الشَّيْطَانَ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِيْنٌ
“Bukankah Aku telah mengambil perjanjian dari kalian wahai anak Adam
agar kalian tidak menyembah syaitan sesungguhnya ia adalah musuh yang
nyata bagimu “ (Q.S Yaasin : 60).
Syaitan akan senantiasa mengajak manusia untuk mensekutukan Allah dan
melakukan pelanggaran terhadap syariat – syariat Allah. Seseorang yang
berbuat syirik dengan menyembah berhala dan makhluk-makhluk lain selain
menyembah kepada Allah, sesungguhnya ia telah menghamba kepada syaitan
dengan mengikuti perintah syaitan tersebut. Nabi Ibrahim ‘alaihissalam
pernah mengajak ayahnya untuk beribadah hanya kepada Allah dan
meninggalkan sikap menyembah berhala-berhala, yang itu juga berarti
menghamba kepada syaitan dalam ucapan beliau yang diabadikan dalam
AlQuran :
ياَ أَبَتِ لاَ تَعْبُدِ الشَّيْطَانَ إِنَّ الشَّيْطَانَ كَانَ لِلرَّحْمنِ عَصِيًّا
“ Wahai ayahandaku, janganlah engkau menyembah syaitan, sesungguhnya
syaitan sangat durhaka kepada ArRahmaan “ (Q.S Maryam : 44).
Ibnu Katsir menjelaskan dalam tafsirnya : “ artinya janganlah mentaatinya untuk beribadah kepada berhala-berhala “.
Setiap manusia sebenarnya dilahirkan dalam keadaan fitrah, dan
berdasarkan fitrah tersebut ia mengetahui bahwa ia memiliki Tuhan
Penguasa segalanya dan satu-satunya yang berhak dia sembah dan hanya
kepadaNya ia menghamba. Setiap orang dilahirkan dalam keadaan demikian.
Namun, dalam perkembangan hidupnya, walaupun ia tidak bisa sepenuhnya
memungkiri kebenaran nuraninya tersebut, seringkali kesombongan dan
kecongkakan menjadikan ia tidak mau terang-terangan mengakui Allah
sebagai satu-satunya Tuhan sekaligus satu-satunya sesembahan.
Bahkan, Fir’aun yang mengaku sebagai ‘Tuhan Yang Paling Tinggi’,
sebenarnya dalam hatinya masih mengakui dakwah Nabi Musa bahwa Allah
adalah Tuhan semesta alam dan hanya kepadaNya semua ibadah seorang hamba
wajib dipersembahkan. Allah Subhaanahu WaTa’ala mengkhabarkan kepada
kita bahwa Fir ’aun dalam hatinya sebenarnya mengakui, namun
kesombongannyalah yang menghambatnya :
وَجَحَدُوْا بِهَا وَاسْتَيْقَنَتْهَا أَنْفُسُهُمْ ظُلْمًا وَّعُلُوًّا
“Dan mereka menentangnya, padahal hati mereka mengakuinya, (tetapi karena) dzholim dan sombong “(Q.S AnNaml : 14).
Bahkan, Fir’aun yang menyebut dirinya Tuhan tersebut sangat tidak
percaya diri dan masih membutuhkan dzat tempat bergantung dan berlindung
saat tertimpa kekalutan-kekalutan hatinya. Fir’aun masih menghamba pada
benda-benda yang diyakininya memiliki kekuatan.
Al-Hasan AlBashri mengatakan : “Fir’aun memiliki sesembahan
tersendiri yang ia menyembahnya di saat sendirian “. Dalam riwayat lain,
beliau menyatakan : “Fir’aun memiliki sebuah mutiara yang dikalungkan
di lehernya, yang ia senantiasa bersujud pada mutiara tersebut “(Tafsir
al-Qur’aanil ‘Adzhiim karya Ibnu Katsir (ketika menafsirkan surat
Al-A’raaf : 127) juz 3 hal 331 cetakan al-maktabah atTaufiqiyyah ta’liq
dan takhrij hadits Haani al-hajj).
(Dinukil dan disarikan dari buku ’Memahami Makna Bacaan Sholat hal 55-59, karya Abu Utsman Kharisman)