Senin, 08 Juni 2015

Pembaca sekalian, -semoga Allah senantiasa menganugerahkan kepada kita RahmatNya- sesungguhnya predikat yang sangat mulya bagi seorang manusia adalah ketika ia berhasil menjalankan kedudukannya sebagai hamba Allah dengan sebenar-benarnya.
Predikat sebagai ‘hamba Allah’ adalah predikat yang sangat mulya. Bahkan, dengan kemulyaan tersebut Allah Subhaanahu Wa Ta’ala setiap kali hendak menunjukkan ketinggian kedudukan Rasulullah Muhammad Shollallaahu ‘alaihi wasallam dan melakukan pembelaan terhadap beliau senantiasa menyebut beliau sebagai ‘hamba’-Nya. Contohnya pada ayat-ayat berikut :

سُبْحَانَ الَّذِيْ أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلاً مِّنَ اْلمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى اْلمَسْجِدِ اْلأَقْصَى
“Maha Suci (Allah) Yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha…”(Q.S Al-Israa’:1)
وَإِنْ كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مِمَّا نَزَّلْنَا عَلَى عَبْدِنَا فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِنْ مِثْلِهِ…
Dan jika kalian ragu terhadap apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami, datangkanlah satu surat yang semisal dengannya….(Q.S al-Baqoroh ayat 23)
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَى عَبْدِهِ الْكِتَابَ وَلَمْ يَجْعَلْ لَهُ عِوَجًا
Segala puji bagi Allah yang menurunkan Kitab kepada hambaNya dan tidak menjadikan kebengkokan pada kitab tersebut (Q.S al-Kahfi ayat 1)
تَبَارَكَ الَّذِي نَزَّلَ الْفُرْقَانَ عَلَى عَبْدِهِ لِيَكُونَ لِلْعَالَمِينَ نَذِيرًا
Maha Suci (Allah) Yang menurunkan al-Furqon kepada hambaNya agar menjadi pemberi peringatan bagi seluruh alam (Q.S al-Furqon ayat 1)
Dan masih banyak lagi contoh pada ayat yang lain. Itu semua menunjukkan bahwa predikat sebagai hamba Allah adalah kemulyaan yang luar biasa.
MANUSIA PASTI MENJADI HAMBA, JIKA TIDAK MENGHAMBA KEPADA ALLAH PASTI MENJADI HAMBA BAGI PIHAK LAIN
Bagaimanapun hidup seseorang, pastilah ia memilih menjadi seorang hamba. Sebagaimana dijelaskan hal ini oleh seorang ulama’ besar, Ibnul Qoyyim al-Jauziyyah dalam bait-bait syairnya.
Memang benar ucapan beliau, seorang manusia memang memiliki pilihan. Namun, dia tidak akan bisa beranjak dari predikat sebagai hamba. Jika dia tidak mau menjadi hamba Allah, – disadari atau tidak- pasti dia memilih menjadi hamba dan budak bagi yang lain, paling tidak bagi hawa nafsu dan syaitan.
Jadi, sekalipun seseorang mengaku bahwa dirinya adalah suatu pribadi yang bebas, independen, serta tidak terikat dengan berbagai macam aturan, sebenarnya dia telah memilih untuk tidak menjadi hamba Allah. Dia lari dan berupaya keluar dari ikatan syariat dan ingin bebas, namun sebenarnya dia telah memilih menjadi budak (hamba) bagi pihak lain, yaitu hawa nafsu dan syaitan. Ia sesungguhnya telah menghamba dan menyembah hawa nafsunya. Sebagaimana Allah Subhaanahu Wa Ta’ala berfirman :
أَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلهَهُ هَوَاهُ
“ Bagaimana pendapatmu tentang orang-orang yang telah menjadikan hawa nafsunya sebagai sesembahan “ (Q.S AlFurqon : 43)
Seseorang bisa jadi menghamba kepada syaitan dengan mengikuti bisikan-bisikan perintahnya dan meninggalkan aturan-aturan syariat dari Allah. Allah Subhaanahu wa ta’ala telah memberikan bimbingan kepada kita dan mengingatkan agar tidak ‘menyembah’ syaitan dalam firmanNya :
أَلَمْ أَعْهَدْ إِلَيْكُمْ يَا بَنِي آدَمَ أَنْ لاَ تَعْبُدُوا الشَّيْطَانَ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِيْنٌ
“Bukankah Aku telah mengambil perjanjian dari kalian wahai anak Adam agar kalian tidak menyembah syaitan sesungguhnya ia adalah musuh yang nyata bagimu “ (Q.S Yaasin : 60).
Syaitan akan senantiasa mengajak manusia untuk mensekutukan Allah dan melakukan pelanggaran terhadap syariat – syariat Allah. Seseorang yang berbuat syirik dengan menyembah berhala dan makhluk-makhluk lain selain menyembah kepada Allah, sesungguhnya ia telah menghamba kepada syaitan dengan mengikuti perintah syaitan tersebut. Nabi Ibrahim ‘alaihissalam pernah mengajak ayahnya untuk beribadah hanya kepada Allah dan meninggalkan sikap menyembah berhala-berhala, yang itu juga berarti menghamba kepada syaitan dalam ucapan beliau yang diabadikan dalam AlQuran :
ياَ أَبَتِ لاَ تَعْبُدِ الشَّيْطَانَ إِنَّ الشَّيْطَانَ كَانَ لِلرَّحْمنِ عَصِيًّا
“ Wahai ayahandaku, janganlah engkau menyembah syaitan, sesungguhnya syaitan sangat durhaka kepada ArRahmaan “ (Q.S Maryam : 44).
Ibnu Katsir menjelaskan dalam tafsirnya : “ artinya janganlah mentaatinya untuk beribadah kepada berhala-berhala “.
Setiap manusia sebenarnya dilahirkan dalam keadaan fitrah, dan berdasarkan fitrah tersebut ia mengetahui bahwa ia memiliki Tuhan Penguasa segalanya dan satu-satunya yang berhak dia sembah dan hanya kepadaNya ia menghamba. Setiap orang dilahirkan dalam keadaan demikian.
Namun, dalam perkembangan hidupnya, walaupun ia tidak bisa sepenuhnya memungkiri kebenaran nuraninya tersebut, seringkali kesombongan dan kecongkakan menjadikan ia tidak mau terang-terangan mengakui Allah sebagai satu-satunya Tuhan sekaligus satu-satunya sesembahan.
Bahkan, Fir’aun yang mengaku sebagai ‘Tuhan Yang Paling Tinggi’, sebenarnya dalam hatinya masih mengakui dakwah Nabi Musa bahwa Allah adalah Tuhan semesta alam dan hanya kepadaNya semua ibadah seorang hamba wajib dipersembahkan. Allah Subhaanahu WaTa’ala mengkhabarkan kepada kita bahwa Fir ’aun dalam hatinya sebenarnya mengakui, namun kesombongannyalah yang menghambatnya :
وَجَحَدُوْا بِهَا وَاسْتَيْقَنَتْهَا أَنْفُسُهُمْ ظُلْمًا وَّعُلُوًّا
“Dan mereka menentangnya, padahal hati mereka mengakuinya, (tetapi karena) dzholim dan sombong “(Q.S AnNaml : 14).
Bahkan, Fir’aun yang menyebut dirinya Tuhan tersebut sangat tidak percaya diri dan masih membutuhkan dzat tempat bergantung dan berlindung saat tertimpa kekalutan-kekalutan hatinya. Fir’aun masih menghamba pada benda-benda yang diyakininya memiliki kekuatan.
Al-Hasan AlBashri mengatakan : “Fir’aun memiliki sesembahan tersendiri yang ia menyembahnya di saat sendirian “. Dalam riwayat lain, beliau menyatakan : “Fir’aun memiliki sebuah mutiara yang dikalungkan di lehernya, yang ia senantiasa bersujud pada mutiara tersebut “(Tafsir al-Qur’aanil ‘Adzhiim karya Ibnu Katsir (ketika menafsirkan surat Al-A’raaf : 127) juz 3 hal 331 cetakan al-maktabah atTaufiqiyyah ta’liq dan takhrij hadits Haani al-hajj).
(Dinukil dan disarikan dari buku ’Memahami Makna Bacaan Sholat hal 55-59, karya Abu Utsman Kharisman)